Saturday, April 30, 2005

Potret Kawula Muda: Sebuah Survei

Potret Kawula Muda: Sebuah Survei

REMAJA atau kawula muda adalah harapan bangsa. Di pundak mereka, masa depan dan cita-cita bangsa ini dipertaruhkan. Mereka dididik agar mengenal bangku sekolah, tahu sopan santun, bermoral, beragama, peduli lingkungan, peduli masa depan, dan segudang nilai-nilai positif lain. Tapi sebagaimana remaja umumnya, mereka tak lepas dari keceriaan dunia remaja
yang diakrabinya.

Dalam batas wajar, masa remaja sering meninggalkan kesan manis. Sekadar mejeng di mal memang bukan barang haram. Tapi tak sedikit di antara mereka yang "berjalan" terlalu jauh. Mereka menjadi lepas kendali. Hidup seolah hanya untuk kali itu. Buntutnya adalah kebablasan. Misalnya terjerat dalam pesta hura-hura ganja, putau, ekstasi, dan pil-pil setan lain.

Tak sedikit pula di antara mereka yang kemudian hamil di luar nikah. Jalan pintas lewat aborsi pun dilakukan, untuk melenyapkan jabang bayi yang belum mereka kehendaki. Jika sudah begitu, orangtua bakal mengurut dada. Salah bunda mengandung? Kurang perhatian? Terlalu dimanjakan? Atau karena pengaruh budaya Barat -yang bebas berpacaran hingga budaya kumpul kebo?

Jika demikian, bagaimana remaja kita menyongsong masa depan? Adakah mereka tetap berpikir: "Itu bukan urusan saya?" Atau dengan nada cuek mereka bilang: "Emang gue pikirin?" Penelitian di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan Ujungpandang oleh Gatra yang bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ini menjawab potret remaja tersebut.

Kami merekam pandangan mereka tentang norma sosial dan agama. Kami menguak
kepedulian mereka pada ekonomi dan budaya. Kami juga menyerap empati mereka, kerisauan mereka, terhadap persoalan remaja. Jajak pendapat yang dilengkapi reportase dan wawancara dengan para pengamat ini kami tuangkan sebagai Laporan Utama. Adakah di antara remaja itu putra-putri Anda atau akrab di sekitar lingkungan kita?

Widi Yarmanto
--------------------------------------------------------------------------------

Hura-hura Oke, Seks Bebas Boleh Juga, Politik No

Hasil survei memperlihatkan, remaja Indonesia cenderung bersikap apolitis dan apatis terhadap keadaan. Mereka lebih banyak memanfaatkan waktu untuk berhura-hura ketimbang melakukan kegiatan positif. Lebih dari itu, mereka bersikap permisif terhadap perilaku kebebasan seks.

TIGA hari tiga malam, empat gadis yang baru gede dan delapan pria -sebagian besar juga baru gede- berdisko sembari menenggak minuman keras. Tak hanya itu, mereka juga asyik masyuk dalam pesta pora seks. Pesta naudzubillah itu berlangsung di rumah bertingkat dua di Jalan Elangsari IV, Semarang. Dari 15 Desember pagi sampai 18 Desember pagi itu, anak-anak
manusia yang bukan suami-istri tersebut menabrak batas-batas susila yang berlaku di sekitar mereka.

Sejak pesta dimulai, masyarakat di sekitar lokasi sudah gerah. Tapi mereka belum bereaksi, kecuali hanya kesal mendengar dentuman musik disko dan tawa cekikikan. Raungan sepeda motor yang datang silih berganti membawa cewek membuat tidur malam warga setempat kacau-balau. "Kami sekeluarga benar-benar tak dapat tidur," kata Nyonya Mawardi, yang rumahnya persis di sebelah tempat pesta.

Singkat kata, pesta tiga hari tiga malam itu sangat mengganggu penduduk. Maka, 18 Desember dini hari, sekitar pukul 02.00, warga memutuskan untuk menggerebek rumah itu, setelah lebih dulu mengontak kepolisian. Tak ada kesulitan. Penggerebekan sukses dengan hasil mengejutkan. Di dalam rumah, mereka menemukan botol-botol minuman keras yang berserakan di lantai. Terlihat delapan lelaki tengah teler. "Seorang di antaranya berjalan
semponyongan dengan pakaian ala kadarnya," tutur seorang penduduk yang ikut menggerebek.
Para lelaki itu terhitung belia. Lima di antaranya berusia 17-19 tahun. Tiga lainnya berumur 22 tahun hingga 24 tahun. Semuanya warga Semarang. Lima orang pengangguran, seorang mahasiswa, dan dua lainnya sudah bekerja. Warga dan polisi juga menemukan empat cewek belasan tahun, seusia siswi SMP, yang tak mabuk tapi tampak begitu letih. Tiga di antaranya mencoba "menghilang" dengan bersembunyi di tempat jemuran yang berada di lantai
atas. Tiga dari mereka berumur 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Seorang lagi menginjak usia 16 tahun, dan baru saja lulus SMP.

Mereka segera diangkut ke Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Semarang untuk dimintai keterangan, dan wartawan dipersilakan ikut mendengarkan. Dari mulut mereka meluncurlah cerita di seputar pesta pora itu. Selaku tuan rumah sekaligus pemrakarsa pesta adalah Eko Suryanto, pengangguran jebolan sekolah menengah umum (SMU). Sebelum pesta berlangsung, ia "mengusir" ibu dan adiknya. Baru kemudian ia mengundang kawan-kawannya dan empat wanita teman kencan.

Wanita-wanita itu, kata mereka, ada yang sudah dikenal lama. Tapi ada juga yang baru dikenal malam itu di suatu tempat. "Saya berkenalan dengan Eko di Simpang Lima pada malam itu, lalu diajak pesta," kata Anita, nama samaran, yang baru kelas II SMP, seraya tersenyum malu. Simpang Lima adalah salah satu pusat keramaian di kota pesisir utara Jawa itu.

Selama pesta berlangsung, para prianya tak melupakan minuman keras merek Cong Yang buatan Semarang, yang dicampur dengan bir, Coca-Cola, dan Sprite. Tapi yang mabuk cuma laki-laki. Nah, bilamana rangsangan datang, mereka lantas memanggil para wanita untuk melakukan permainan "asoi". Kadang-kadang mereka "bertanding" satu lawan satu. Kali lain dua lelaki "mengeroyok" seorang cewek. Eko Suryanto, selaku tuan rumah, berhak
mencicipi semua wanita.

Dalam pemeriksaan, salah seorang cewek yang berwajah paling cantik, sebut saja namanya Milah, menuturkan, "Semua itu kami lakukan tanpa paksaan, mau sama mau." Rekan-rekannya juga membenarkan pengakuan tersebut. Setelah diperiksa polisi, empat perempuan ABG (anak baru gede) itu diserahkan kepada Balai Asuhan dan Penitipan Anak di Semarang. Sementara itu, para prianya cuma dikenai tindak pidana ringan, dan dilepas setelah
ditahan selama 1 x 24 jam.

Lho, kok enteng betul? Mengapa tak diproses ke pengadilan supaya diganjar dengan layak? "Tak ada alasan hukum untuk menjerat mereka. Kalau dijerat dengan delik pemerkosaan, nyatanya tidak ada yang merasa diperkosa. Kalau dijaring dengan tuduhan melarikan gadis di bawah umur, nyatanya tidak ada orangtua yang mengadu kehilangan anak perempuan. Perbuatan mereka dilakukan atas dasar suka sama suka," kata Letnan Kolonel Soenarko
Danuardatno, Kepala Poltabes Semarang.

Selain kasus di Semarang itu, simak pula kisah dua pasang remaja keturunan
Cina di Ujungpandang, November lalu. Pasangan pertama, panggil saja John, 20 tahun, dan Selvi, 14 tahun. Pasangan kedua, sebut saja George, 20 tahun, dan Ling Ling, 16 tahun. Mereka berempat ditemukan tewas di garasi Hotel Makasar Indah.

Menurut petugas hotel, mereka datang mengendarai mobil Kijang. Setiba di hotel, mereka langsung menyewa kamar dengan sistem short time untuk pemakaian selama enam jam. Setelah membayar sewa kamar, mereka keluar dulu. Tak lama kemudian mereka datang lagi, tapi tak langsung ke kamar, melainkan "iseng" dulu dalam mobil yang diparkir di garasi hotel. Mesin dan AC mobil dibiarkan tetap hidup, sedangkan jendela dan pintunya ditutup
rapat-rapat.

Malapetaka pun datang. Kira-kira pukul 01.00, satpam hotel menemukan mereka telah menjadi mayat. Menurut hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Cabang Ujungpandang, mereka tewas karena keracunan karbon monoksida yang berasal dari gas buangan mobil dan AC yang dihidupkan. Kasus di Semarang dan di Ujungpandang itu hanya contoh dari sekian banyak
kasus penabrakan nilai-nilai agama dan susila yang dilakukan sebagian remaja Indonesia. Para ustad, pendidik, orangtua, pejabat, dan siapa saja yang merasa prihatin telah lama meneriakkan kecemasan mereka terhadap menggejalanya kebebasan seks di kalangan remaja. Juga kecenderungan lainnya, seperti hura-hura dan mabuk-mabukan.

Kecemasan mereka memang beralasan dan memperoleh pembenaran dari berbagai
penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia. Tahun 1987, misalnya, tim dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia meneliti perilaku seks di kalangan siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Jakarta dan Banjarmasin. Sebanyak 2% dari total responden menyatakan pernah bersanggama (koitus). Yang berciuman, meraba-raba, atau berpelukan gairah
sambil meremas-remas bagian tubuh tertentu (petting) lebih banyak lagi.

Kemudian, April 1995, tim dari Universitas Diponegoro, Semarang, dan Dinas Kesehatan Jawa Tengah juga meneliti perilaku seks di kalangan siswa SLTA.
Tim menyimpulkan, sekitar 10% dari 600.000 siswa SLTA di Jawa Tengah
pernah melakukan hubungan intim atau sanggama.

Menjelang akhir 1997, Gatra -bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI)- menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujungpandang. Penelitian itu dimaksudkan untuk mengetahui perhatian dan sikap para remaja terhadap masalah seks,
sosial politik, ekonomi, nilai-nilai agama, dan berbagai masalah aktual.

Secara umum mereka memiliki kepedulian terhadap persoalan-persoalan serius, seperti masalah sosial politik, ekonomi, korupsi, dan kesempatan kerja. Tapi kepedulian mereka lebih bersifat pasif, dalam arti tak terlalu tergerak untuk mengetahuinya secara lebih dalam. Apalagi berupaya menyalurkan aspirasi mereka dengan memasuki organisasi, semisal lembaga
swadaya masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan, atau partai politik. Mereka memilih bersikap apatis pada keadaan.

Dari 800 responden itu, hanya 1,1% yang aktif dalam kegiatan LSM. Peminat
organisasi politik lebih kecil lagi. Yang menyatakan aktif di Partai Persatuan Pembangunan hanya 0,8% (6 orang), aktivis Golongan Karya 1,5% (12 responden), dan menjadi warga Partai Demokrasi Indonesia cuma 0,5% (4 orang). Tim peneliti lantas menyimpulkan, remaja saat ini bersikap "apolitis" -tak peduli pada masalah-masalah politik.

Data lain menunjukkan, mereka tak terlalu tertarik untuk memanfaatkan waktu dengan melakukan kegiatan-kegitan positif, seperti belajar atau membaca buku. Hampir 31% (246 orang) memilih mejeng di mal atau pertokoan, berhura-hura, menenggak minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, dan mementingkan kepuasan indrawi (hedonisme).

Tapi yang lebih mengejutkan, mereka menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap serba boleh) terhadap perilaku seks "gaya modern". Sebanyak 45,9% (367 responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378 responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88 orang) oke saja dengan necking alias cium leher atau cupang, 4,5% ( 36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden) menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3% (10 responden) tak melarang sanggama di luar nikah.

Anehnya, hampir semua responden (95%) menyadari sepenuhnya bahwa agama
merupakan pedoman untuk membentuk akhlak dan budi pekerti terpuji. "Memang bisa terjadi, seseorang yang memahami dan mempercayai kebenaran suatu nilai atau norma belum tentu mampu melaksanakan sebagaimana mestinya. Dan itu bukan cuma terjadi di kalangan remaja," kata Mahrus Irsyam, Kepala LIP FISIP-UI, yang memimpin penelitian ini.

Responden yang menolak berbagai kategori perilaku seks tersebut memang lebih besar. Tapi tim peneliti menduga, jumlah yang membenarkannya mungkin lebih besar. "Boleh jadi, mereka merasa malu dan rikuh untuk mengaku secara jujur," kata Mahrus Irsyam.

Karena hanya menjaring sebagian kecil dari sekitar 24 juta remaja -hitungan pemilih pemula dalam Pemilu 1997 yang berusia 17-22 tahun- hasil survei itu tentu tak mencerminkan pandangan dan perilaku seksual seluruh remaja Indonesia. Meski demikian, menurut Mahrus, penelitian itu setidaknya memberikan gambaran bahwa kebebasan seks gaya "modern" (baca: Barat) telah merambah negeri yang katanya sangat sopan ini.

Selama ini ada anggapan, sikap permisif terhadap kebebasan seks hanya berlaku di kota-kota besar seperti Jakarta. Asumsinya, kota besar sangat terbuka pada masuknya nilai-nilai dan kebiasaan "modern" dari negara-negara maju. Tapi asumsi itu telah dibantah oleh hasil penelitian Laboratorium Antropologi UI pada pertengahan 1997.

Penelitian yang dibiayai Ford Foundation itu menjaring 132 remaja berusia 12-24 tahun di Desa Begak, Sumatera Utara, sekitar 149 kilometer dari Medan, dan Desa Mandiangin, Kalimantan Selatan, kira-kira 50 kilometer dari Banjarmasin. Kedua desa itu dipilih karena secara tipologis berciri tradisional, dan warga setempat telah dipengaruhi kebudayaan kota.

Hasil survei ternyata juga mengagetkan. Responden dari Desa Begak mengaku terbiasa keluar rumah pada malam Kamis dan malam Minggu untuk berkencan di tempat-tempat gelap atau warung remang-remang. Harap diketahui, kemaksiatan, penjualan minuman keras, dan perjudian telah meresahkan masyarakat di Medan dan sekitarnya. Di tempat kencan itu mereka
melaksanakan kreativitas jari-jari dan bibir, dari meraba-raba sampai berciuman.

Survei di Desa Mandiangin yang berpenduduk 2.145 jiwa juga tak jauh berbeda. Para responden umumnya telah meninggalkan pacaran gaya lama: surat-suratan atau kirim salam tempel lewat teman. Mereka sudah pandai berciuman, meraba, berpelukan rapat-rapat, dan semacamnya. Bahkan sebagian tak menolak melakukan salip ruku -arti harfiahnya menyelipkan rokok di
bibir, tapi maksudnya berhubungan badan.

Berdasarkan hasil survei di dua desa itu, tim peneliti menyimpulkan bahwa pandangan seks bebas bukan cuma menggejala di kota besar, melainkan sudah menjalar ke desa-desa. "Sekarang ini praktis tak ada perbedaan signifikan antara perilaku seks remaja kota dan remaja desa," kata Irwan Martua Hidayana, waktu itu. Irwan adalah dosen Jurusan Antropologi FISIP-UI, yang memimpin penelitian itu.

Ternyata Profesor Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, guru besar Fakultas Psikologi UI, tak terlalu terkejut mendengar hasil penelitian itu. Tahun 1985, ia pun pernah melakukan penelitian di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dalam hal berseks bebas, hasilnya kurang lebih sama antara penelitian di Jakarta, di Desa Begak, dan di daerah-daerah lain: 1,53% dari sekitar 300
responden remaja menghalalkan sanggama sebelum nikah. Yang oke terhadap ciuman, pelukan, raba-meraba sudah pasti jauh lebih banyak. Hasil penelitian itu kemudian dijadikan salah satu bahan untuk menyusun buku berjudul Psikologi Remaja, yang kini sudah diterbitkan.

Dalam buku itu Sarlito, antara lain, mencoba menjawab apakah sikap permisif terhadap perilaku seks berkorelasi dengan kemajuan di sekitarnya? Jawabannya tidak selalu. Ia lantas menunjuk survei-survei yang dilakukan di sejumlah negara maju dan negara berkembang. Data tahun 1984 memaparkan, 46% remaja putri dan 66% remaja putra Liberia, negara berkembang di
Afrika, pernah bersanggama. Bandingkan dengan penelitian di Amerika Serikat ini: data tahun 1979 menunjukkan, sekitar 46% remaja putri dan 69% remaja putra tak sungkan berkoitus. Sebaliknya di Jepang, yang sudah begitu modern, remaja putri yang pernah bersanggama cuma 8% dan prianya 42%.

Artinya, Sarlito menyimpulkan, tinggi rendahnya tingkat kecenderungan seks bebas di sebuah negara tidak melulu disebabkan faktor kemajuan ekonomi atau teknologi di sebuah negara. Penundaan perkawinan karena sekolah atau dibatasi oleh hukum dan munculnya alat-alat kontrasepsi -yang sebenarnya lahir karena kemajuan di bidang ekonomi atau teknologi- ikut mendorong perilaku itu. Penyebab lainnya adalah makin longgarnya pandangan masyarakat terhadap seks -ini pun lahir karena pengaruh kemajuan.

Menanggapi hasil penelitian Gatra, Sarlito tak sependapat bahwa meningkatnya kecenderungan permisif itu berjalan seiring dengan bertambahnya sikap apolitis dan apatis terhadap masalah politik. Di matanya, bukan cuma remaja yang bersikap begitu. "Bapak-bapak, ibu-ibu,
atau karyawan juga banyak yang apolitis dan apatis," kata guru besar Fakultas Psikologi UI itu.

Pendapat Tika Bisono, psikolog lulusan Fakultas Psikologi UI, kira-kira juga demikian. Pengetahuan masyarakat, khususnya remaja, terhadap masalah politik atau ekonomi memang dangkal. Tapi mereka tak bisa disalahkan, sebab mereka tak memperoleh informasi mengenai politik atau ekonomi secara jelas. Sajian yang mereka lihat hanya acara peresmian sebuah proyek, berita tentang seminar, atau penjelasan-penjelasan resmi pemerintah.

Acara diskusi di televisi juga masih bersifat sangat hati-hati. Sebaliknya, informasi tentang hiburan melimpah ruah dan begitu gamblang disajikan. "Tak aneh kalau mereka segera mematikan radio atau televisi yang menyiarkan berita-berita politik," kata Tika.

Ringkasnya, kata Dr. Endang Ekowarni, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, faktor lingkungan -entah itu sistem politik, perilaku para orangtua, kekuasaan yang mengekang, pergeseran pandangan, dan sebagainya- mendorong remaja untuk melakukan perbuatan tak terpuji. "Lingkungan yang power full itulah yang menjadikan remaja lemah, tidak
dewasa, dan tak bertanggung jawab," ujar Endang.

Meski begitu, baik Sarlito, Tika, maupun Endang menolak penilaian yang bersifat menyamaratakan semua remaja. "Banyak remaja yang banting tulang mencari uang, bersusah payah belajar untuk berprestasi, hidup hemat, dan bermoral terpuji," kata Sarlito. Dan para pemerhati remaja ini menyarankan, bila ingin mengobati para remaja yang telanjur "rusak",
kondisi di sekitar mereka harus segera diperbaiki pula.

Priyono B. Sumbogo, Joko Syahban, dan Hidayat Gunadi

source: GATRA, Nomor 7/IV, 3 Januari 1998

2 comments:

Anonymous said...

saya sangat tertarik dengan isi tulisan kamu.
saya juga menulis tentang seks bebas dikalangan remaja dan mahasiswa sekarang ini yang semakin merajelela dan semakin menghawatirkan.
saya rasa kita dapat bekerja sama dalam membahas tentang seks bebas ini dan aku minta bantuannya untuk enulis tentang seks bebas ini lagi.
by naff_r@yahoo.co.id
www.bungetz.co.cc

Anonymous said...

Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!