Thursday, April 07, 2005

Menggugat Eksploitasi PSK - ABG

Oleh Tri Widati Wahyuningsih

Seorang pekerja seks komersial (PSK), sebut saja Bunga (13) merupakansalah satu dari 26 PSK yang beberapa waktu lalu terjaring di kawasanBongkaran, Tanah Abang, Jakarta Pusat (Indopos, 20/10). Bunga kinimasih di bangku SMP, yang mengaku melayani om-om karena diderakemiskinan, adalah salah satu dari sekian PSK anak di bawah umur diJakarta yang jadi korban eksploitasi seksual untuk tujuan komersial.

Yang lebih parah lagi, menurut Bambang Budi Setiawan dari YayasanKesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), selain dilacurkan di jalanan,anak-anak juga banyak dilacurkan di hotel-hotel dan tempat-tempathiburan. Hotel dan tempat hiburan di Jakarta serta kota-kota besarlainnya banyak digunakan sebagai tempat melacurkan anak-anak.Sementara hukum yang berlaku di Indonesia belum diimplementasikansecara maksimal untuk melindungi anak-anak dari komersialisasiseksual, karena masih terlalu banyak kasus perdagangan dan pelacurananak yang belum tersentuh hukum.

Kasus perdagangan dan pelacuran anak baru gede (ABG), beberapa waktulalu juga terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri JakartaSelatan, Rabu (6/10). Para korban adalah sejumlah ABG dari siswi SLTPdi Manggarai, mereka dipaksa melayani om-om di Hotel Manggarai, HotelPondok Nirwana, dan Hotel Cempaka.

Pelaku, yakni Endah Peni Sulistianingrum (EPS) ditangkap polisi diJakarta (25/5) berdasarkan laporan masyarakat dan guru sejumlah ABGitu. Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum Manik Ara mendakwa EPS(27) terlibat dalam kasus penjualan dan pelacuran ABG, dan menilaipelaku telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Hak Anak danmenjadikan perbuatan cabul sebagai pencaharian atau kebiasaan. EPSjuga didakwa telah mengomersialisasikan anak-anak berusia 13 - 14tahun sebagai PSK, meski mereka masih duduk di bangku SLTP.

Menurut angka resmi dari Suku Dinas Pembinaan Mental dan KesejahteraanSosial (Bintal Kesos) Jakarta Pusat, saat ini di wilayah Jakarta Pusatsaja, yang tercatat beroperasi sebagai PSK 602 orang. Dari jumlah itu,60 persen berusia belia (11 hingga 17 tahun). Data tentang jumlah PSKitu tentu tak perlu diperdebatkan. Sebab ada yang lebih penting untukdiwaspadai, yakni munculnya lokasi atau pangkalan baru bagi parapelacur itu. Pangkalan itu di kawasan bekas Bandara Kemayoran, takjauh dari lokasi Pekan Raya Jakarta. Di sana, rata-rata usia merekayang menjual diri masih muda-muda. Beberapa di antaranya mengaku,bahwa selama enam bulan terakhir beroperasi di lokasi baru ini, tidakpernah ada razia polisi sehingga para ABG-ABG PSK itu merasa lebihnyaman dan aman untuk bertransaksi dan melakukan "syuting film" adeganmaksiatnya di hotel-hotel.

Pelacuran ABG di hotel-hotel dilakukan oleh sindikat perdagangan anak.Berbeda dengan pelacuran anak-anak di jalanan, seharusnya sindikatyang melacurkan ABG di hotel-hotel dan tempat hiburan lain sudahlangsung ditindak karena kita telah memiliki Undang-UndangPerlindungan Anak. Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) ini tidakmempunyai korelasi langsung dengan pengembangan pariwisata nasional.Undang-Undang Kepariwisataan No. 9 Th. 1990 dengan tegas menolaksegala bentuk perjudian dan perzinahan (wisata seks). Kenyataannya,jaringan kerja pariwisata banyak disalahgunakan oleh pihak-pihaktertentu untuk menyelenggarakan bisnis ESKA. Misalnya hotel-hotel,tempat hiburan malam, dan pusat relaksasi. Sebanyak 30 persenprostitusi di Indonesia dilakukan anak-anak, dan pelancong /turismerupakan salah satu pengguna bisnis ESKA yang cukup potensial.

Bagi para germo (mucikari), bisnis pelacuran ABG adalah sebuah ladang uang yang menggiurkan. Mereka umumnya tak keberatan mengeluarkan modal besar untuk investasi di bidang ini. Dalam bisnis PSK, investasiseorang germo tidak mengenal rugi. Karena, konsumen (lelaki hidungbelang) datang sendiri ke tempatnya. Bagi para germo, yang terpentingdalam bisnis ini ada "keahlian" mencari dan menyediakanpelacur-pelacur muda, cantik, bahenol, atau menarik atensi lelaki.Biasanya seorang germo memiliki rumah bordil lebih dari satu. DiJakarta, germo-germo kawasan Bongkaran misalnya, penanaman modal danmembuka usaha pelacuran tak hanya di satu tempat saja. Mengingatbisnis ini cepat menyedot keuntungan besar, mereka juga buka usaha PSKdi tempat lain. Metoda ini, selain mencari keuntungan lebih, jugamerupakan siasat untuk mensirkulasikan PSK binaannya. Hal tersebutberkenaan dengan animo pelanggan yang selalu menginginkan pelacur barudan cantik lagi muda.

Dalam budaya patriarki, seksualitas perempuan diletakkan di bawahdominasi pria, yakni demi melayani kebutuhan seksual pria dan menjadipelayan emosionalnya (Sex Money and Morality, by Thank-DamTruong).Terminologi ini nyaris sejalan dengan kedudukan para pelacurdi mata mucikari. Bagi germo, pelacur tidak memiliki hak melawan ataumembantah kata-katanya, maka apa pun perintah germo harus dilakukantanpa boleh mengajukan keberatan.

Prostitusi di Eropa praindustri misalnya, tidak hanya merupakanrespons terhadap persoalan-persoalan sosial-ekonomi wargametropolitan, tetapi juga ekspresi dari ambisi untuk memuaskan hasratlibido yang seharusnya dikendalikan seoptimal mungkin (ContemporaryStudies in Society and History, by Perry). Meningkatnya urbanisasi dikota-kota besar, instabilitas demografi, dan dislokasi ekonomiperempuan, telah membuka jalan bagi diterimanya manfaat sosial rumahbordil dalam dua hal. Yakni sebagai tempat berlindung kaum wanita yangtak memiliki tempat tinggal, sekaligus menyediakan para lelaki yangjauh dari istrinya untuk memuaskan libidonya.

Sebelum kita bergerak memberantas pelacuran, setidaknya kita harusmenelusuri lebih dulu alasan/motif mereka menjadi pelacur. Padadasarnya, motif mereka seragam: tuntutan ekonomi. Sebab itu, para PSKyang ditangkapi dan dibawa ke pusat rehabilitasi, selain diberipenyuluhan keagamaan, juga diberi pengetahuan tentang penyakitkelamin, bahkan harus diberi semacam kursus/ketrampilan sebagai bekalhidupnya setelah kembali ke masyarakat. Jika tidak, kemungkinan besarmereka menjadi PSK lagi.

Dalam menyiasati kompleksitas masalah PSKini, setidaknya ada lima argumen sosial yang harus dicermati.

  • Pertama, pihak aparat jangan hanya merazia pelacur di pinggir-pinggirjalan, di taman-taman kota, atau di lokalisasi liar semata, tetapijuga harus merazia para PSK kelas kakap, hostes, dan para wanitapanggilan. Sebab mereka sama bahayanya dengan pelacur jalanan.
  • Kedua, adanya kerja sama pihak berwenang (instansi terkait) untuktidak pernah lelah, terus-menerus mengon-trol, memberi pengarahan, danmerazia pelacur secara berkesinambungan.
  • Ketiga, pihak aparat harus bertindak tegas kepada lelaki hidung belangyang kedapatan sedang melakukan transaksi. Supaya mereka kapok, misaldiliput dengan kamera untuk tayangan televisi, menahannya, danmengabari pihak keluarganya.
  • Keempat, adanya dukungan dari seluruh warga masyarakat dan kaum ulamabahwa pelacuran benar-benar perbuatan melawan hukum.
  • Kelima, pihak aparat jangan bersikap diskriminatif dalam menanganimasalah PSK. Yang diciduk jangan hanya pelacur saja, tetapi jugamucikarinya, karena andil mereka sangat besar bagi timbulnya pelacuranJika germo dibiarkan, begitu lokalisasi Kramat Tunggak dihapus, merekamembuat rumah bordil lagi di tempat lain.

Para ABG yang terperangkap dalam pelacuran, bukan hanya bisa pasrah menjalani kehidupan yang kejam, tetapi mereka juga tak jarang harusberhadapan dengan orang-orang di sekitarnya yang gila libido, liar,dan sering tidak kenal belas kasihan.

Berbeda dengan buruh anak di sektor perkebunan atau pertambangan yangkebanyakan hanya berhadapan dengan jam kerja yang panjang dan bebankerja fisik yang berat. Bagi anak-anak yang dilacurkan, merekadiharuskan oleh germo untuk melakukan apa saja yang mesti dikerjakandengan dampak psiko-logis yang merusak jiwa dan masa depannya. Tanpaperlu dikaji lebih jauh di lapangan, mempekerjakan anak-anak sebagaiPSK, jelas merupakan perbuatan melawan hukum dan salah satu bentukkejahatan terburuk.

Konvensi ILO Nomor 182 dengan jelas menyatakan, pelacuran anak-anakharus dilarang dan dihapuskan, karena benar-benar telah melanggar hakanak, di samping risiko yang harus ditanggung mereka dinilai terlaluberat.


(Tri Widati Wahyuningsih, pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan,alumnus Fakultas Sosial-Politik Universitas Gadjah Mada - 1985).

1 comment:

Anonymous said...

test neh...