Wednesday, September 28, 2005

Selamatkan Anak-anak dari PELACURAN!


Mereka beranggapan, anak-anak itu masih suci, tidak akan terkena penyakit-penyakit seperti PMS [penyakit menular seksual] atau terkena HIV. Miris. Agaknya kata ini yang pas untuk melukiskan maraknya pelacur anak-anak di sekitar kita. Betapa tidak, tanpa kita sadari ratusan ribu 'daun muda' (10-16 tahun) ikut meramaikan bisnis nikmat tapi 100 persen beraroma maksiat dan dilaknat itu.

Menurut penelitian sebuah yayasan sebagaimana dipaparkan pada seminar Pemberdayaan Anak dalam Situasi Khusus di Jabotabek pekan lalu, di Jakarta dan sekitarnya kini terdapat sekitar 150 ribu anak yang berprofesi sebagai pelacur [atau dilacurkan]. Di sisi lain, 30 persen pekerja seks komersial (WTS) di bawah umur 18 tahun. Para pelacur anak-anak itu dapat ditemui di lokalisasi resmi sampai hotel berbintang.

Yang 'mengenaskan', para pelacur anak-anak itu menjajakan dirinya dengan berpura-pura menjual kue dan minuman kecil di perempatan jalan atau lampu merah-lampu merah demi menghindar dari razia petugas. Mereka banyak mangkal di daerah Bongkaran Tanah Abang, Rawa Bebek, Boker, sepanjang bantaran kali dari Manggarai-Dukuh Atas, Kali Jodo dan Jatinegara. Ini belum termasuk di diskotek, panti pijat, losmen, hotel tempat wisata, bar, dan lainnya.

Merebaknya pelacuran anak di Ibukota dan sekitarnya ini mengundang keprihatinan berbagai pihak. Tak kurang dari Menneg Urusan HAM Hasballah M Saad, Ketua Komisi VI DPR KH Ma'ruf Amien, mantan Menperta Dra Tutty Alawiyah, Sekjen Dewan Dakwah Drs Hussein Umar, dan psikolog Dr Seto Mulyadi ikut memprihatinkan fenomena ini.
''Maraknya pelacuran anak ini bagi saya sangat memprihatinkan,'' ujar KH Ma'ruf Amien. Menurut ulama NU ini, banyak faktor mengapa pelacuran anak makin meningkat dewasa ini. Faktor itu antara lain himpitan ekonomi, dekadensi moral, sampai lemahnya iman seseorang. ''Jika iman seseorang sudah lemah, ini susah,'' paparnya.
Dilihat dari aspek agama, pelacuran termasuk perbuatan yang dikutuk oleh Allah. ''Agama kita sangat mengutuk hal ini,'' lanjut Kiai Ma'ruf.
Tapi, tak semua anak itu terjun ke dunia pelacuran atas kemauan sendiri. Banyak di antaranya justru terjerumus karena dipaksa oleh orang lain, bahkan oleh orang tuanya sendiri demi rupiah. ''Ada juga orang-orang yang moralitasnya rendah yang hanya mengeksploitasi anak-anak untuk kepentingan diri

sendiri,'' tandas Ma'ruf.

Menurutnya, pelacuran anak ini tak hanya menyalahi aturan agama. Tapi juga melanggar peraturan nasional, bahkan internasional. Konvensi ILO [Badan PBB untuk Urusan Buruh] yang baru-baru ini kita ratifikasi, misalnya, memuat masalah perlindungan anak termasuk perlindungan dari pelacuran.
Karena itu menurut Kiai Ma'ruf, di sini diperlukan tindakan tegas dari aparat agar anak-anak tersebut tak dieksploitasi. Law enforcement harus benar-benar ditegakkan oleh aparat keamanan. ''Harus ada upaya-upaya untuk perlindungan anak,'' tegasnya kepada Republika.
Perlunya perlindungan anak-anak ini juga disenandungkan psikolog Dr Seto Mulyadi. Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Periode 1998-2001, ini menilai pelacuran anak melanggar hak anak itu sendiri.

Anak-anak, harus dilindungi dari berbagai eksplorasi baik secara ekonomi maupun fisik. Sehingga, bila sampai ada data yang menyebutkan terdapat ratusan ribu pelacur anak, hal itu menurutnya jelas merupakan pelanggaran. Apalagi sebagai negara yang turut meratifikasi hak anak sejak 1990 silam, Indonesia mestinya konsekuen dengan melaksanakan apa saja yang sudah disepakati itu.
Menurut Seto, sekurangnya ada empat hal penting yang menjadi esensi dari hak anak.


Yang pertama, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Anak, misalnya, berhak untuk mendapatkan makanan yang sesuai dengan standar gizi. Namun, hal ini masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal di sini.

Yang kedua, hak untuk tumbuh dan berkembang. Ini termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yanag layak, hak untuk bermain dan bergembira mengembangkan budayanya.

Ketiga, hak untuk mendapatkan perlindungan. Anak-anak berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik maupun batinnya. ''Karena mereka adalah makhluk yang masih rentan,'' jelas Seto.

Keempat, hak untuk berpartisipasi dalam segala sesuatu yang menyangkut dunianya. ''Mereka berhak terlibat dan dilibatkan dalam urusan yang menyangkut dirinya,'' tutur penyayang anak ini.

Tapi mengapa, kini, pelacuran anak di Indonesia merebak? Menurut Seto, anak-anak itu terpaksa berprofesi sebagai pelacur karena alasan ekonomi. Kesulitan ekonomi keluarga menggiring anak-anak ke dunia hitam itu. ''Apakah mereka pelacur anak atau pelacur profesional, kebanyakan berawal dari himpitan ekonomi. Tapi, alasan seperti ini [untuk pelacur anak] sebetulnya tak boleh ada [tapi itu yang terjadi],'' tandas Kak Seto --demikian sapaan akrab Seto Mulyadi.

Lalu, apakah seiring dengan perjalan waktu --seperti juga pada pelacur dewasa-- mereka kemudian mulai 'menikmati' menjajakan diri ini? Seto menampik anggapan ini. Sebab, ''Pada dasarnya, sebagai anak nalurinya adalah bermain, belajar dan bersosialisasi. Jadi tak ada kenikmatan itu...'' Namun, sambung Seto, mereka sepertinya tak berdaya terperangkap oleh jaringan yang terus menempatkan mereka sebagai objek eksploitasi.

''Karena itu pemerintah harus melakukan tindakan yang lebih kongkret, lebih nyata dan profesional,'' tuntutnya. Ini bukan berarti selama ini pemerintah mengabaikan anak. Tapi, kata Seto, upaya yang bersifat terpadu memang harus segera dilakukan. Dan dalam hal ini, pemerintah yang memegang kendali.

Namun dari semua itu, yang paling penting dan mendesak untuk diselesaikan, menurutnya, yaitu mengusahakan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Anak bisa digolkan di DPR. Rancangan yang sudah hadir 15 tahun silam, itu sampai sekarang belum bisa 'disulap' menjadi UU. Karena itu, lembaga yang dipimpinnya sangat berkepentingan agar UU itu bisa diwujudkan agar segala bentuk eksploitasi terhadap anak bisa dihentikan. Atau minimal bisa dikurangi.

Terpatri

Namun bagi, Koordinator Program Yayasan Kusuma Buana (YKB) Panca B Wibawa, faktor ekonomi bukan penyebab utama maraknya anak-anak menjadi pelacur. Sebab, banyak juga mereka yang terhimpit ekonomi namun 'selamat', tak menjerumuskan anaknya ke jurang penuh noda dan dosa itu.
Menurut Panca, faktor yang menjadi penyumbang terbesar adalah faktor historis. Faktor inilah agaknya yang bisa menjelaskan mengapa anak-anak di suatu wilayah tertentu di Indramayu, Cirebon, jalur Pantura, Banyuwangi, Blitar dan daerah lain, terjun ke dunia pelacuran. Anak-anak yang terjun dalam pelacuran ini, kata Panca, sudah terinternalisasi di sana. Jadi, ''Ada semacam spesialisasi wilayah.''

Menurut Panca, di daerah-daerah tersebut, anak-anak sudah sangat terbuka dengan fenomena ini. ''Mereka merasa itu hal yang biasa. Di Indramayu misalnya, sudah terinternalisasi budaya mereka ini sampai ke ibu-ibu dan anak-anak. Anak itu dianggap sebagai aset yang bisa membuat mereka makmur, membuat mereka bisa kaya,'' ujar Panca.
Nah, sebenarnya dari sinilah pintu gerbang pelacuran anak itu mulai terbuka. Panca menilai, ada semacam sosialisasi yang diberikan ke anak sejak mereka masih kecil. Jadi secara langsung atau tidak langsung anak-anak dibentuk supaya mereka tahu bagaimana bisa hidup senang atau hidup kaya dari cara-cara seperti itu. ''Faktor ini kemudian sangat terpatri pada anak sehingga mereka tumbuh kembang dengan pengaruh itu yang begitu kuat.''
Menurut Koordinator Konsorsium Pemberdayaan Anak itu, maraknya pelacuran anak tak semata-mata milik Jakarta dan sekitarnya saja. Bahkan tak cuma monopoli kota-kota saja. Di setiap tempat, pada sentra-sentra di mana uang bisa direguk, pelacur anak tumbuh subur. ''Di Busang yang baru calon saja, misalnya, sudah dikerubutin. Apalagi di Batam atau Freeport,'' ujar Panca. Konsumen mereka biasanya memang ada di sentra industri.

Lalu mengapa para pria hidung belang itu menggandrungi anak-anak? Ini tak lain karena mereka beranggapan, anak-anak itu masih suci, tidak akan terkena penyakit-penyakit seperti PMS [penyakit menular seksual] atau terkena HIV. ''Alasan ini yang ada dalam main frame mereka,'' tandas Panca yang kini aktif melakukan upaya-upaya rehabilitasi pelacur anak-anak ini.
Alasan lain mengapa pelacur anak disukai karena anak-anak mudah diatur. Om-om senang yang biasa memakai 'jasa' anak-anak beranggapan, para anak itu kurang begitu berdaya, sehingga mereka gampang mengaturnya.
Kendati begitu, sekali lagi Panca menjelaskan, faktor historislah yang membuat pelacur anak marak. Faktor-faktor lain seperti penipuan dan terpaksa karena himpitan ekonomi, itu terjadi di wilayah-wilayah yang tersamar, yang sulit terjangkau. Dan itupun persentasenya kecil. ''Kalau masalah faktor kemiskinan, toh kemiskinan itu bisa terjadi di wilayah mana saja, tapi apakah mereka melacurkan anak mereka?''

Menurut Panca, yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah sudah adanya link seperti di Indramayu. Ciri khas mereka ini adalah faktor internalisasi tadi, serta kuatnya jaringan di antara broker, germo dan pengusaha. Jaringan ini, tutur Panca, bisa terjadi karena ada proses yang begitu lama sehingga mereka bisa menemukan jalurnya yang sudah mereka buat. Jadi untuk 'memerangi' fenomena ini, maka link inilah yang mesti kita putuskan.n rus/mag/hfi

KUTIPAN:
Rancangan yang sudah hadir 15 tahun silam, itu sampai sekarang belum bisa 'disulap' menjadi UU. Mereka sepertinya tak berdaya terperangkap oleh jaringan yang terus menempatkan mereka sebagai objek eksploitasi.

No comments: