Tuesday, May 11, 2004

Menelusuri Pelacuran ABG di Cianjur, Jawa Barat (VI)

CIANJUR – JAWA BARAT

Salah-salah, Bisa Terperangkap yang Palsu

BILA Anda ke Cianjur dan bertemu seorang gadis dengan tahi lalat di dagu sebelah kiri, kulit putih, hidung mancung, dan tingginya 165 cm. Dia adalah Dian, putri salah seorang pegawai bank milik pemerintah di daerah berhawa dingin itu.

Dian yang baru saja tamat SLTA, terjun ke 'dunia hitam' sejak di kelas 1 SLTA. "Pacar saya tidak bertanggung jawab," katanya. Ia bercerita, kegadisannya direnggut oleh sang pacar, lalu ditinggal pergi. Ia kebingungan dan putas asa.

Dalam kondisi yang tidak menentu itu, ia bertemu dengan seorang teman yang menjanjikan bisa memberikan ketenangan. "Saya diberi pil dengan bayaran Rp 30.000. Saya jadi lupa segalanya," katanya. Ia kemudian ketagihan.

Dian biasa nongkrong di salah satu diskotek. Ia sering kali mengenakan T-shirt kuning dan celana hitam. Lalu bagaimana menggaet Dian. Tidak terlalu susah, "Beliin saja dia 10 butir, pasti dia mau," kata seorang germo bernama Helmy. Ketika ditelusuri, ternyata Dian ini memang anak seorang pejabat bank pemerintah di Cianjur dan tinggal di kawasan elite. Dian tidak terlalu memilih pasangan, yang penting disediakan pil 'gila' itu.

Untuk mendapatkan 10 butir ekstasi. Helmy bisa mengusahakan dalam waktu sekejap dengan harga Rp 30.000 per butir.

Menurut pengakuan Dian, selain karena perlakuan pacarnya, ia juga merasa tidak betah di rumah. "Ibu dan bapak sering bertengkar, tanpa saya tahu penyebabnya," kata Dian.

Dian belum berniat untuk kuliah. "Orang tua juga tidak memaksa saya, yang penting saya happy dulu deh," katanya.

Bila diajak, Dian tidak pernah menuntut bayaran. Ia lebih mengutamakan bersenang-senang, "Untuk kebutuhan sehari-hari, saya cukup," ujarnya.

Lain lagi cerita Novi. Gadis berusia 16 tahun ini, memang mencari uang. Saat ini sekolah di sebuah SLTA swasta di Cianjur. Gadis berkulit putih dengan tinggi 162 cm, datang ke Cianjur awal 1997 untuk melanjutkan studi. Dia sendiri berasal dan lahir di sebuah desa, di Kecamatan Sindangbarang, sekitar 120 kilometer dari Kota Cianjur.

Uang bulanan yang dikirim ayahnya yang menjadi petani, ternyata tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup di Cianjur. "Hanya diberi uang Rp 100 ribu tiap bulan, sangat tidak cukup untuk seorang gadis seperti saya," ujarnya.

Setelah satu tahun di Cianjur, dia mulai mengenal yang namanya diskotek dan kehidupan malam lainnya. Sampai suatu ketika, dia diajak teman sekolah pria, Michael, ke sebuah hotel di kawasan Puncak dan dikenalkan kepada pria setengah baya yang menghuni sebuah kamar di hotel berbintang. ''Saya diminta melayani laki-laki itu selama dua jam,'' kata Novi.

Sejak saat itulah dia menjadi ketagihan, karena mendapat uang secara mudah. Diakui pula, pertama menerima uang sebesar Rp 200 ribu, itu pun melalui teman prianya tadi.

''Saya sendiri tidak tahu berapa yang diberikan kepada teman pria saya itu,'' katanya polos. Selanjutnya, teman prianya itulah yang menjadi 'manajer' sampai saat ini.

"Kebetulan Michael di rumahnya punya telepon, jadi segalanya lancar,'' ungkap Novi, yang mengaku hingga kini masih kos di sebuah kamar ukuran 2 x 3 meter dengan biaya sewa Rp 50 ribu/bulan.

Gadis berwajah oval ini, memasang tarif untuk short time antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. ''Tapi kadang-kadang bisa Rp 150 ribu atau Rp 100 ribu bila saya suka kepada yang mem-booking saya," katanya.

Penghasilannya dibagi 60:40 dengan Michael. Tapi dia tidak mau diajak menginap. ''Takut ketahuan ibu kos,'' tambahnya.

Umumnya, tarif ABG di Cianjur antara Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Selain di diskotek di kawasan Puncak, mereka bisa dijumpai di beberapa salon kecantikan.

Di daerah itu, ada dua 'jenis' ABG, yaitu anak sekolahan dan ABG 'liar'. Yang masih sekolah biasanya tinggal di rumah kos atau rumah orang tuanya. Sedangkan yang 'liar' kebanyakan tinggal di rumah kontrakan.

Kendati ciri-cirinya sudah diketahui, untuk bisa bertemu ABG 'murni' di Cianjur memang gampang-gampang susah. Salah-salah, malah bisa bertemu dengan wanita yang menyamar sebagai ABG.

Besarnya minat para hidung belang kepada ABG ini justru dimanfaatkan germo-germo di lokalisasi WTS. Mereka mendandani WTS muda usia, dan meng-up grade-nya seolah-olah WTS itu pelajar yang sering pula menyebut-nyebut nama sekolah tertentu. Harga WTS itu kemudian menjadi mahal dan menjadi saingan para ABG. Tidak jarang para WTS itu mangkal di kafe-kafe dan diskotek dengan lagak seorang pelajar.

ABG tidak 'bertindak' sendiri-sendiri, selalu menggunakan perantara.

Para germo, juga dari kalangan pelajar atau karyawan. Ruddy, 28 tahun, misalnya karyawan sebuah BUMN di Cianjur, menjadi perantara ABG berawal dari rapat kerja badan usahanya tempat dia bekerja yang dihadiri pejabat di tingkat pusat.

''Saat itu saya disuruh pimpinan saya di Cianjur untuk mencari sedikitnya delapan ABG yang bisa dikencani bos-bos dari Jakarta," katanya.

Memang, awalnya cukup rikuh, tapi lama-lama jadi terbiasa ''Setiap ada meeting/rapat kerja yang memerlukan partai besar, saya selalu dihubungi, baik itu dari perusahaan saya sendiri maupun instansi lain yang membutuhkan. Tapi saya lihat-lihat dulu orang yang menghubungi saya, bisa dipercaya atau tidak,'' kata Rudy.

Seorang karyawan hotel di kawasan puncak, Andri, juga sering menjadi pemasok ABG bagi tamu-tamu hotelnya baik rombongan maupun perseorangan. "Biasanya jika hendak memesan, harus satu hari sebelumnya,'' kata Andri.

Alasannya, dia harus mengontak dulu para ABG itu masing-masing di sekolahnya. Ia tidak segan-segan menyebut nama-nama sekolah para ABG yang bisa dihubungi.

"Biasanya kami ketemu di warung-warung sekitar sekolah, dan saya mengaku sebagai keluarga mereka dari daerah. Setelah itu kami janjian ketemu di suatu tempat,'' kata Andri.

Biasanya tempat rendezvous berikutnya di sebuah restoran di bilangan Jl Mangunsarkoro atau di salon-salon kecantikan.

Selain menggunakan jasa germo terselubung, kalangan ABG bisa dijumpai di diskotek-diskotek di kawasan Cipanas, Puncak, setiap malam Sabtu dan Minggu. Mereka biasanya bergerombol dan membawa teman pria yang berfungsi sebagai perantara.

Bersambung.....



No comments: